"Percayalah, Mentari Senja Juga Sedang Melihatmu"
“Nggak ada latihan nak?”
Suara itu terdengar begitu lembut di telinga Anissa. Terdengar
menyejukkan di tengah kelut batinnya saat itu. Terasa masuk ke dalam
telinga hingga tembus membasuh perasaannya yg kecewa.
“Nggak ada
ma.” jawabnya sebisa mungkin mengeluarkan suara bernada riang. Seperti
layaknya bagian dirinya yg selalu dia tunjukkan di depan semua orang,
Anissa yg periang.
“Terus, sekarang lagi ngapain? Kok nggak
kedengaran ramai, biasanya setiap Nissa telepon mama, mama selalu susah
dengar suara Nissa karena teman2nya Nissa ramai luar biasa.”
“Nggak ma, Nissa lagi nggak sama teman2. Lagi mau sendiri aja, terus ingin telepon mama.”
Masih, sebisa tenaganya, Nissa mencoba agar suaranya terdengar normal
dan tidak bergetar, meskipun tangan kirinya, tangan yg tidak menggenggam
telepon itu, hampir menyobek bagian bawah kaos bercorak anime One Piece
bagus yg dipakainya saat ini, saking kerasnya dia meremas gemas menahan
emosi yg dia tahan agar tidak keluar lewat suaranya.
“Ma, Nissa sebenernya masih mampu nggak sih ma disini, di jkt48?”
Anissa mulai terdengar kalah melawan keinginannya menahan emosi ketika berbicara dengan mama nya saat ini.
“Lho kenapa nak? Bukannya ini impianmu? Mama ya nggak tahu Nissa masih
mampu bertahan atau nggak, kan yg menjalani semua itu Nissa sendiri.
Nissa sendiri yg memilih untuk mengejar impian di jkt48 sampai pindah ke
jakarta juga kan. Mama support Nissa terus kok. Emangnya ada apa nak?
Berantem sama temen?”
Lagi Ma.. Kenapa cuman sebentar jawabnya,
Nissa ingin mendengar jawaban mama… Batin Nissa terus berharap agar mama
nya menghujani dia dengan bermacam wejangan, nasihat, peringatan, atau
apapun itu. Barangkali diantara hujan kata-kata dari mama nya itu, Nissa
bisa menemukan jawaban yg dia cari.
“Halo Nissa, kok diem aja?”
“Maaf ma…” kali ini suaranya benar-benar kalah oleh emosi, dan terdengar sangat bergetar, hampir menangis.
“Ma, kalau Nissa berhenti disini, mama bakal marah atau nggak?”
“Berhenti gimana nak? Dari jkt48? Dan kenapa mama harus marah ke Nissa?
Kan sudah dari awal mama dukung apapun langkah Nissa. Yg mungkin buat
mama marah, kalau Nissa berhenti nya itu tanpa ada perlawanan dan
perjuangan apa-apa.”
Jawaban itu sontak saja mengejutkan Anissa.
Tangan kiri Nissa berhenti menarik bagian bawah kaos One Piece nya. Dia
merasa mendapatkan apa yg ingin didengarkannya.
Perlawanan?
Perjuangan? Anissa merenungkan dua kata dari mama nya itu. Bukan karena
dia takut mama nya bakal marah, tapi memang dua kata itu terasa hilang
dari kosakata hidupnya akhir-akhir ini. Menegakkan kembali duduknya di
kursi panjang di pinggir dermaga. Dermaga dengan pantai kotor penuh
sampah sebenarnya, tapi dermaga itu, di kursi yg saat ini tengah
didudukinya itulah spot favorit Anissa selama tinggal di Jakarta
sekarang. Dari situ, Anissa bisa bernafas dalam semaunya, merenung dan
menangis sebebasnya, tertawa dan menggambar sesukanya.
Kadang pula
dia berimajinasi dibalik horizon laut lepas yg sering dia lihat, akan
muncul sebuah kapal laut, kapal bajak laut tepatnya, dan kapal bajak
laut Sunny milik Luffy, tokoh anime favoritnya, lebih persisnya lagi.
Meski paham itu tidak mungkin, tapi Anissa tidak memikirkannya. Karena
baginya, menyimpan imajinasi seperti itu, menyimpan impian-impian
seperti itu lah yg membuatnya tetap ceria meski disaat seperti sekarang
pun.
“Gimana sih ma, berjuang itu? Kemarin ada pengumuman
pembentukan team K, ma. Dan Nissa nggak kepilih disitu. Nissa sekarang
harus gimana coba? Pasti nanti kalau ada lagu baru atau event apa, Nissa
pasti nggak diikutkan.”
“Oh, jadi itu yg bikin Nissa nya mama
galau. Ya nggak apa-apa nak. Kalau cuma itu, ya rebut lagi posisimu
disana. Mama mungkin nggak tahu gimana persisnya yg terjadi di dalam
sana, tapi yg mama tahu, Anissa Athia bukan anak yg mudah menyerah.
Ingat dulu kamu yg bisa meyakinkan mama untuk ikut-ikutan temanmu pakai
baju-baju aneh itu, apa namanya cosu…cos..apa itu kan?”
“Cosplay ma. Hihi.”
Duduk Nissa kembali rileks. Kali ini dia bisa bersandar santai di kursi
panjang itu. Melirik sebentar ke bagian kaos yg ditarik-tarikny
a sendiri dari tadi.
“Ya itu, cosplay. Mama kan juga nggak setuju dulu kamu pakai baju aneh
gitu. Pake wig segala, apalagi yg waktu pakai baju cowok. Tapi toh Nissa
bisa meyakinkan mama papa, sampai ikut lomba cosplay dan menang waktu
itu.”
Mendengar mama nya berbicara tentang cosplay, hobi yg sangat
disukainya, membuat Nissa sejenak melupakan kesedihan dan emosinya. Dia
bersyukur, menelepon mamanya merupakan hal tepat yg dia lakukan sore
itu.
Setidaknya bisa mengurangi pikiran-pikiran negatif tentang ingin keluar dari jkt48, perasaan-perasaan
iri kepada temannya yg terpilih. Nissa tidak bisa menyembunyikan
perasaan kecewa dan iri itu, manusiawi. Karena itu dia memilih untuk
menyendiri dulu sore ini.
“Tapi ma, bukannya itu berarti Nissa lebih jelek daripada temen yg kepilih?”
Entah kenapa, kini Anissa menyesali pemilihan kalimat yg baru saja
keluar dari mulutnya itu. Membuatnya jauh lebih sedih dan terpukul.
“Bukan seperti itu. Nissa sudah baik, buktinya berhasil masuk jkt48.
Hanya mungkin temen Nissa berlatihnya lebih keras dan intens daripada
Nissa.”
“….jadi Nissa, coba dengerin mama baik-baik. Nissa harus
tahu, Nissa adalah cewek yg kuat, keras pendirian, kreatif, dan punya
mimpi. Dan itu harus diperjuangkan. Kalau ada yg bikin Nissa sedih, ya
dilawan. Tapi dilawan dengan cara positif, misalnya latihan lebih keras.
Tunjukkan Nissa juga bisa, bahkan melebihi dari teman lain.” Anissa
tersenyum. Bukan hanya karena saat ini dia juga tengah memperhatikan dua
anak kecil lucu berkejaran di pinggir pantai, tapi lebih karena dia
mendapatkan kembali apa yg hilang dari dirinya. Passion.
“Iya ma, kayaknya Nissa sudah tahu apa yg harus….”
Suara Nissa terhenti ketika tiba-tiba cahaya matahari senja menyorot
tepat matanya, menembus rimbun dedaunan kelapa yg sebenarnya ada untuk
memayungi area kursi panjang tempat dia duduk saat ini dari sinar
matahari.
Disaat matanya belum pulih dari ‘buta sesaat’ akibat sorot
matahari jingga itu, tepat dibawah posisi matahari yg hampir miring 45
derajat, di horizon laut lepas, seakan Nissa melihat sebuah kapal layar
besar, dengan bentuk kepala singa di depannya. Kapal yg dari kecil sudah
dia akrabi bentuknya. Kapal yg selalu dia impikan untuk datang ke dunia
nyata. Sunny.
Kaget tentu saja, secepat itu pula Nissa berpindah
posisi ke bagian lain dari kursi itu yg tidak tersorot sinar jingga, dan
mencoba melihat lebih jelas apa yg tadi dilihatnya. Sunny.
Tentu
saja bukan.. Logika Nissa seketika berkata demikian, saat kapal layar yg
tadi dilihatnya sebagai Sunny itu hanyalah kapal layar nelayan biasa.
Terlihat besar akibat siluet yg memantul di laut karena perbuatan
matahari senja yg miring itu. Dan se-jala besar ikan hasil tangkapan
nelayan itu terlihat seperti berbentuk kepala singa jika diubah format
gambarnya menjadi siluet.
“Nissa, kenapa nak, kok diem lagi?” Suara mama nya membuyarkan salah paham yg menyenangkan yg barusan dialami Nissa.
“Engga ma.. Barusan pindah tempat duduk. Silau gara-gara matahari.
Nissa sedang lihat matahari senja terbenam nih ma. Biar nggak terlalu
sedih.” jawab Nissa penuh semangat.
“Oh, melihat matahari. Dulu papa
sama mama juga suka duduk-duduk sambil perhatiin matahari senja. Ada
satu kalimat dari papa mu waktu itu yg masih mama ingat….”
“Apa itu ma?”
“Kamu boleh suka melihat mentari senja, karena itu memang indah. Tapi
juga percayalah, bahwa mentari senja itu juga sedang melihat kearahmu,
jadi berikan senyuman terbaikmu kepada mentari senja itu. Jangan sampai
kalah indah dengannya.”
Air mata yang tadi batal keluar ketika
Anissa tengah bersedih, kali ini memberontak dengan liar tanpa bisa
Nissa membendungnya. Terasa asin di pinggir bibirnya yg tengah tersenyum
lebar, selebar senyum idolanya dari kecil, Luffy.
Lama dia tidak
bisa membalas ucapan mama nya. Pertahanan Nissa jebol mendengar kalimat
penguatan dari mama nya. Hingga akhirnya Anissa memilih untuk mematikan
teleponnya saat itu juga, memberikan kesempatan bagi air mata nya untuk
berderai keluar bersamaan dengan segala keluh, kesal, iri, dan
sejenisnya itu yg sempat mengeruhkan jalan menuju impiannya.
Perlahan Nissa mencoba untuk menulis pesan sms untuk mama nya, meminta
maaf karena menutup telepon dan berterima kasih untuk sore ini. Mama nya
pasti mengerti dan mendengar isak tangisnya tadi.
Tersenyum sambil
masih berurai air mata, Nissa mencoba membaca tulisan ‘sent’ di
ponselnya, hanya untuk memastikan pesannya terkirim.
Sunny itu, yg
membawa jala besar berisi ikan, semakin menjauh dari pandangannya. Pun
begitu dengan mentari senja yg kini mungkin sudah miring 30 derajat.
Lebih merah dari sebelummnya. Lebih indah dari sebelumnya.
Anak
kecil yg berlarian tadi pun sudah digandeng ibunya. Dua-duanya menangis.
Satu nya menangis karena habis dipukul sekop plastik, satunya lagi
menangis karena dijewer ibunya yg marah. Dua anak menangis di tepi
dermaga sore ini, tiga jika Nissa juga masuk hitungan, karena sampai
saat ini dia belum juga berhasil menghentikan aliran air matanya.
Saat itu, dan seterusnya. Nissa tidak ingin dan tidak bisa untuk tidak
berjuang melawan ketika ada apapun yg membuatnya jatuh dan sedih. Karena
dia ingin, saat dia kembali bertemu dengan mentari senja dan menatap
kearahnya, Anissa ingin mentari senja itu juga mengagumi keindahan
senyum yg dia miliki. Tidak kalah indahnya dari mentari senja. Dan
selalu akan terulang di setiap harinya.
Sumber dari - Fans Page Fans JKT48
loading...